Refleksi Hari Bencana Nasional | oleh Nurhasanah, S.Pd.
Sepanjang tahun 2018 dan 2019 ini, kita sering menyaksikan berbagai berita tentang bencana yang terjadi di Aceh dan di berbagai wilayah Indonesia lainnya. Bencana-bencana tersebut meliputi bencana kecil hingga bencana besar, seperti kebakaran, banjir, longsor, badai, kekeringan, erupsi gunung merapi, gempa, dan bahkan tsunami. Bencana tsunami yang telah terjadi di Selat Sunda tahun lalu pun, meninggalkan berbagai cerita dan ketakutan akan tsunami susulan. Bencana yang terjadi di pesisir selat Sunda tersebut, ternyata bukan kali pertama. Menurut sejarah, muntahan magma Krakatau pernah menyebabkan dasar laut runtuh dan menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut pada tahun 1883.
Sejarah Tsunami Aceh
Menyoal tentang tsunami, warga Aceh khususnya sudah sangat familiar dengan nama bencana yang satu ini. Kenangan akan gempa hebat yang menimbulkan tsunami di beberapa wilayah Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang silam, tentu masih menjadi sejarah yang tidak akan terlupakan bagi warga Aceh. Ribuan gedung hancur, ratusan ribu nyawa hilang, dan sebagian besar telah dimakamkan secara massal. Kendatipun demikian, banyak hikmah yang dapat kita reguk sarinya di balik duka Aceh tersebut, seperti rasa solidaritas dari seluruh wilayah Indonesia dan dunia yang datang untuk saling bahu-membahu dalam proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Tidak hanya itu, bencana ini juga membuahkan perjanjian damai antara Pemerintah RI (Republik Indonesia) dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki, pada tanggal 15 Agustus tahun 2005 yang silam. Sungguh, perjanjian damai ini merupakan harapan dan cita-cita warga Aceh yang telah tertanam sejak lama.
Nandong Smong dari Simeulue
Jika kita ingin berkaca pada pengalaman warga Simeulue yang berhasil menyelamatkan diri dari tsunami empat belas tahun yang lalu, kita akan merasa takjub. Pendapat yang serupa juga telah dipaparkan oleh opini sebelumnya. Hal ini dikarenakan oleh warga Simeulue yang sudah mengenal baik akan tanda-tanda datangnya bencana melalui warisan budaya yang dinamakan “Smong” atau “Nandong Smong”. Berdasarkan laporan penelitian yang disampaikan oleh M.Takari, dkk., Nandong Smong adalah sebuah genre nyanyian rakyat Simeulue Aceh, yang dapat dikelompokkan kepada cerita rakyat (folklor) berupa penjelasan atau narasi multi-indeksikal mengenai situasi alam yang dikenali dengan Tsunami (Nandong Smong Nyanyian Warisan Sarana Penyelamatan Diri dari Bencana Tsunami dalam Budaya Suku Simeulue di Desa Sukamaju: 2017). Adapun beberapa lirik yang juga dipaparkan pada laporan tersebut adalah sebagai berikut:
Unen ne alek linon
“Diawali oleh gempa”
Fesang bakat ne mali
“Disusul ombak yang besar sekali”
Manoknop sao hampong
“Tenggelam seluruh kampung”
Tibo-tibo mawi
“Tiba-tiba saja”
Anga linon ne mali
“Jika gempanya kuat”
Uwek suruik sahuli
“Disusul air yang surut”
Maheya mihawali
“Segeralah cari”
Fano me singa tenggi
“Tempat kalian yang lebih tinggi”
Atas pengetahuan lokalnya terkait evakuasi bencana tsunami tersebut, masyarakat Simeulue mendapatkan penghargaan dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) melalui program ISDR (International Strategy for Disaster Reduction). Budaya lokal ini dapat menjadi inspirasi untuk menciptakan mars siap siaga bencana secara nasional, yang dapat dipakai sebagai pengingat bagi seluruh elemen masyarakat.
Mengintip Kesiapsiagaan Bencana di Jepang
Selain warga Simeulue, beberapa warga yang terdapat di daerah Chosy-City, Chiba, Jepang, juga telah menerapkan nilai-nilai kesiapsiagaan terhadap bencana tsunami. Hal ini dapat dilihat dari pembuatan peta evakuasi kepada seluruh warga Chosy yang telah lama rampung pasca gempa dan tsunami pada Maret 2011 yang lalu. Peta ini tidak hanya diwarnai oleh keterangan-keterangan mengenai daerah yang diperkirakan akan diterjang oleh tsunami yang memiliki tingkatan kuat maupun rendah, tetapi juga diwarnai dengan keterangan mengenai daerah yang tidak akan kena tsunami dan daerah yang bisa menjadi tempat evakuasi. Secara tidak langsung, peta ini dapat membantu warga untuk mengetahui jalan yang aman saat bencana tsunami kembali melanda di kemudian hari. Selanjutnya, di kota ini juga sudah terdapat 16 tiang listrik di beberapa sudut yang rawan tsunami. Pada tiang listrik tersebut, telah tertera tulisan mengenai seberapa jauh jarak yang harus kita tempuh dan berapa jarak ketinggian yang harus kita capai ketika tsunami datang.
Selain kota Chosy-City, kota Asahi juga merupakan salah satu kota yang memiliki peta evakuasi bencana yang tidak jauh berbeda dengan peta evakuasi yang terdapat di kota Chosy-City. Warga setempat juga memiliki buku cerita rakyat mengenai bencana tsunami yang berjudul “Inamura No Hi” dan di sana juga terdapat sebuah Tsunami Telling Group. Sedangkan di Toshima-ku yang berlokasi di Tokyo, salah satu usaha untuk menghadapi bencana di sana adalah dibangunnya sebuah taman yang diberi nama “Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park”. Di taman yang sudah dikombinasikan dengan gedung ini, kita akan merasakan simulasi gempa dengan cara yang unik, menggunakan mesin game portable yang sangat populer di kalangan anak-anak yang disebut Nitendo. Ruangan yang terdapat di taman tersebut, berhasil disulap seperti suasana saat gempa besar tengah terjadi. Diruangan tersebut, terlihat mobil yang ambruk dikarenakan bangunan yang runtuh, tiang listrik yang tumbang, rumah yang ruang dapurnya sedang kebakaran, serta AC yang terlihat hampir jatuh. Para pengunjung yang datang, berkewajiban untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan situasi yang berada di ruangan simulasi tersebut. Setiap pertanyaan yang benar akan diberikan nilai. Jika nilai yang diperoleh telah mencapai 80 ke atas, maka para pengunjung yang melakukan simulasi tersebut dinyatakan siap dalam menghadapi bencana gempa. Uniknya, taman ini juga menyediakan ruangan yang memamerkan perlengkapan dan tas siaga bencana dari berbagai negara. Berdasarkan sejarah yang ada, Jepang merupakan salah satu negara yang paling banyak mengalami gempa dan tsunami, sehingga tidak heran jika Jepang berusaha keras untuk menyiapkan warganya agar dapat menjadi warga yang tangguh akan bencana.
Kesiapsiagaan Bencana di Aceh
Aceh kembali dengan wajah baru. Rekonstruksi infrastruktur Aceh yang semakin membaik tidak lepas dari kerja keras pemerintah, beberapa instansi dari dalam negeri maupun luar negeri, beberapa komunitas, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari akses transportasi, jalan, dan jembatan yang semakin rapi, serta beberapa di antaranya dilengkapi dengan “sign” evakuasi bencana. Saat ini, kita juga dapa melihat beberapa bangunan “escape building”, beberapa bangunan yang menggunakan konsep ramah bencana, adanya pusat edukasi bencana seperti TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation Research Centre) Unsyiah, Museum Tsunami, Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah, resminya beberapa sekolah siaga bencana, dan berbagai fasilitas lainnya yang baru kita rasakan pasca Tsunami Aceh.
Kehidupan terus berjalan dan seluruh warga Aceh saat ini sejatinya harus tetap mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menghadapi bencana yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Nilai kesiapsiagaan bencana harus senantiasa dipupuk untuk berbagai kalangan usia, dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat sekitar. Sehubungan dengan hal ini, beberapa program telah diimplementasikan seperti simulasi bencana yang diadakan oleh BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh) dan distribusi buku “Panduan Pendidikan Penanggulangan Bencana untuk Sekolah” yang telah diterbitkan oleh Yayasan Jambo Minda bekerjasama dengan Asian Disaster Reduction Center-ADRC, Jepang, TDMRC, Unsyiah, Indonesia Arbeiter Samariter Bund-ASB, Jerman, dan Osaka Gas Foundation of International Cultural Exchange-OGFICE, Jepang. Konferensi mengenai topic bencana untuk lokal, nasional, dan bahkan tingkat internasional pun acap kali digelar demi penyebaran ilmu kebencanaan untuk masyarakat setempat.
Terkait penguatan kesiapsiagaan bencana di keluarga, hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memahami lokasi rumah dan melakukan simulasi bencana bersama keluarga. Belajar menyiapkan tas siaga bencana dan berdiskusi tentang kebencanaan, juga dapat dilakukan agar seluruh anggota keluarga mempunyai pandangan yang sama. Sedangkan di sekolah, penguatan kesiapsiagaan bencana dapat dilakukan dengan melakukan simulasi antara siswa dan guru di sekolah, diskusi mengenai video kebencanaan bentuk animasi maupun bukan animasi, penampilan bercerita atau mendongeng tentang kebencanaan, melakukan kerja sama dengan berbagai pihak ahli, seperti Magister Ilmu Kebencanaan, yang telah memiliki berbagai produk tentang kebencanaan seperti, teka-teki silang dan ular tangga kebencanaan. Untuk penguatan kesiapsiagaan di lingkungan sekitar, dapat dilakukan dengan melakukan simulasi bersama warga sekitar dan berusaha mengenal jalur evakuasi dan tempat-tempat yang diperkirakan dapat terisolasi ketika bencana terjadi. Semoga ikhtiar, usaha, dan doa yang kita lakukan, dapat mengurangi resiko bencana di kemudian hari. Mari berfleksi di hari bencana nasional tahun ini, seperti tema yang telah ditetapkan, “Melawan Lupa, Bangun Siaga”.
Nurhasanah, S.Pd.
Guru SD TNA Fatih Bilingual School
Pegiat FLP Banda Aceh
Alumni JENESYS.2.0 (Japan-East Asia Network of Exchange for Student and Youths) for Disaster Education